Hiperaktif bisa Jadi Autisme?
Anak autis sering tidak memahami perintah dan tidak mampu melakukan komunikasi secara aktif. Kata-kata yang diucapkannya terdengar aneh dan mereka sering memakai istilah-istilah yang tidak lazim digunakan. Salah satu ciri khas anak autis adalah rendahnya kemampuan menunjukkan kemauan/pervasif, jadi anak mungkin lapar tapi tidak ada keinginan untuk minta makan.
SAYA selalu mengikuti tulisan-tulisan Ibu tentang perkembangan anak terutama tentang autisme dan gangguan perhatian, karena kebetulan saya memiliki anak balita (trims. RK). Saya kebetulan jauh dari mertua dan saudara, jadi cuma teman-teman yang sering jadi tempat bertanya dan kebetulan tulisan ibu selalu menjawab kebingunan saya. Namun ada pertanyaan yang masih mengganjal pikiran saya sehingga saya memberanikan diri menulis surat ini.
Anak saya laki-laki, sekarang 4.5 tahun dan harusnya masuk TK O Kecil, tapi saya ragu-ragu untuk memasukkannya karena dari tulisan Ibu tentang kematangan sekolahnya belum maksimal terutama masalah duduk diam dan berkonsentrasi mendengarkan. Anaknya cenderung mudah bosan dan cepat beralih perhatiannya. Di rumah dengan teman sebaya juga masih mau menang sendiri, ngomongnya sudah berbentuk kalimat tapi sering kurang jelas dan kalau marah suka menggigit temannya sehingga banyak temannya yang menghindar kalau dia datang bermain. Pertanyaan saya.
Apakah anak saya bisa dikategorikan autisme atau hiperaktif?
Apakah hiperaktif perlu diobati dan diterapi? Benarkah kalau tidak diobati bisa berubah menjadi autisme?
Apakah yang harus saya lakukan, memasukkan anak ke TK atau SLB-C?
Apakah anak saya bisa disembuhkan dan masuk sekolah biasa?
D, Nusa Dua
Wah kok seperti tembakan bombardir pertanyaannya Bu. Tulisan ini sekaligus untuk menjawab beberapa pertanyaan melalui telepon tentang perbedaan anak hiperaktif dengan autis.
‘Histeria Autisme’ akhir-akhir ini memang sering melanda para orangtua yang anaknya menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan autis. Namun sebagai orangtuanya tentu kita mampu memberikan pengamatan yang mendetail. Ada beberapa perbedaan mendasar yang dapat kita amati dari perilaku anak dengan GPPH/Gangguan Pemusatan Perhatian & Hiperaktivitas (ADHD/Attention Defisit & Hiperactivity Disorder) dengan autisme, sebagai berikut.
Aktivitas & Kemampuan Berkonsentrasinya
Anak autisme cenderung kurang mampu berkonsentrasi dan sangat sukar diarahkan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Aktivitas yang dilakukan lebih berdasar karena dorongan kemauan dari dalam dirinya. Aktivitas bermainnya biasanya cenderung monoton dan bersifat pasif, tidak mampu bermain interaktif dan imaginatif dengan teman bermainnya, seperti main dagang-dagangan, perang-perangan, pura-pura jadi guru, dokter dsb. Mereka juga sangat sukar berganti mainan, cenderung memainkan mainan dan permainan yang sama sendirian, diulang-ulang, rutin dan bersifat stereotipik.
Sementara anak hiperaktif konsentrasinya memang terbatas juga dan sangat mudah sekali teralih perhatiannya pada aktivitas lain yang lebih baru, namun lebih mudah untuk diarahkan melakukan suatu tugas sederhana meskipun sering tidak selesai.
Aktivitasnya yang seperti didorong mesin memang menjadi ciri paling khas dari hiperaktif, seperti tidak mengenal rasa lelah, cenderung tidak dipikir dan sering impulsif seperti tidak sabaran segalanya mau serba cepat, tidak mau menunggu giliran dan semua keinginannya harus diikuti. Mereka justru sangat mudah bosan dan selalu ingin berganti-ganti mainan, serta masih mampu bermain interaktif dan imaginative.
Aspek Sosial & Emosinya
Anak dengan gejala autisme, minat bersosialisasinya sangat rendah. Mereka lebih asyik untuk bermain sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sosialnya. Biasanya justru terganggu apabila ada intervensi dari lingkungannya dan cenderung menghindari kontak mata, merasa tidak nyaman apabila disentuh dan dipeluk. Respons emosinya sering tidak terduga, kadang-kadang cuwek tetapi bisa suatu saat respons emosinya terlalu berlebihan dan biasanya kalau sudah marah sangat sukar untuk diredakan, bahkan ada beberapa anak yang tahan menangis berjam-jam.
Sementara minat untuk bersosialisasi yang ditunjukkan anak yang hiperaktif masih normal, tetapi karena impulsivitas dan agresivitasnya mereka sering jadi ‘troublemaker’ sehingga sering dihindari dan dijauhi teman-teman bermainnya. Kontak mata kadang-kadang masih dilakukan, masih mau disentuh, masih menyukai pelukan. Emosinya cenderung meledak-ledak, tetapi masih lebih mudah untuk diredakan dengan bujuk rayuan.
Komunikasi, Pervasi & Perilakunya
Anak autis sering tidak memahami perintah dan tidak mampu melakukan komunikasi secara aktif. Kata-kata yang diucapkannya terdengar aneh dan mereka sering memakai istilah-istilah yang tidak lazim digunakan. Salah satu ciri khas anak autis adalah rendahnya kemampuan menunjukkan kemauan/pervasif. Jadi anak mungkin lapar tapi tidak ada keinginan untuk minta makan, mau kencing juga tidak mampu memberikan isyarat, tidak menunjukkan rasa takut maupun bagaimana mengekspresikan rasa senang atau rasa sayang kepada orang lain mereka sering tidak mampu. Perilaku yang mereka tunjukkan seringkali aneh dan berlebihan, cenderung menunjukkan perilaku stereotipik seperti tertawa sendiri tapi bukan dalam situasi senang, bertepuk tangan, berjalan jinjit-jinjit, melompat-lompat yang dilakukan tanpa tujuan dan rentang waktu yang cukup lama.
Sementara anak hiperaktif kebanyakan juga menderita kelambatan bicara. Ini tidak mengherankan karena kemampuan berbahasa membutuhkan konsentrasi. Namun mereka masih mampu menunjukkan kemauan/pervasi meskipun dengan bahasa nonverbal, misalnya mereka ingin minum, mungkin tangan kita akan ditariknya dan dengan isyarat menunjuk tempat minum sambil berbicara ‘ah ah uh’ sebagai usaha menjelaskan apa yang diinginkannya. Perilaku yang ditunjukkan lebih diwarnai impulsivitas berupa ketidaksabaran, pemaksaan kehendak maupun rendahnya kontrol diri, keterlambatan banyak berkaitan dengan koordinasi motorik halus, berkonsentrasi maupun berbahasa.
Terapi & Hasil Stimulasi
Tentu saja anak hiperaktif pun perlu diterapi seperti halnya anak autis. Memang gangguan tersebut kalau tidak diterapi tidak akan mengubah anak menjadi autis tetapi yang pasti akan menghambat perkembangan kecerdasan dan sosialnya. Terapi perilaku, terapi konsentrasi, terapi wicara, obat-obatan bahkan keluarganya pun perlu mendapat terapi untuk meneruskan terapi di rumah dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak-anak hiperaktif. Memang dibutuhkan kesabaran, energi dan biaya yang tidak sedikit, namun biasanya kalau terapi dilakukan secara intensif maka perkembangannya akan maju secara bertahap.
Dengan pendekatan pada sekolah dan guru, sebaiknya cobalah ‘titip’ saja di TK biasa Bu, sambil tetap melakukan terapi yang di atas. Masalah nanti masuk SD atau SLB tentu sangat tergantung dengan kapasitas kecerdasan yang ditunjukkkan anak. Sebaiknya Ibu segera berkonsultasi ke ahlinya atau setiap hari Kamis ada klinik Tumbuh Kembang di RS Sanglah, silakan berkonsultasi ke sana. Salam manis.
Anak autis sering tidak memahami perintah dan tidak mampu melakukan komunikasi secara aktif. Kata-kata yang diucapkannya terdengar aneh dan mereka sering memakai istilah-istilah yang tidak lazim digunakan. Salah satu ciri khas anak autis adalah rendahnya kemampuan menunjukkan kemauan/pervasif, jadi anak mungkin lapar tapi tidak ada keinginan untuk minta makan.
SAYA selalu mengikuti tulisan-tulisan Ibu tentang perkembangan anak terutama tentang autisme dan gangguan perhatian, karena kebetulan saya memiliki anak balita (trims. RK). Saya kebetulan jauh dari mertua dan saudara, jadi cuma teman-teman yang sering jadi tempat bertanya dan kebetulan tulisan ibu selalu menjawab kebingunan saya. Namun ada pertanyaan yang masih mengganjal pikiran saya sehingga saya memberanikan diri menulis surat ini.
Anak saya laki-laki, sekarang 4.5 tahun dan harusnya masuk TK O Kecil, tapi saya ragu-ragu untuk memasukkannya karena dari tulisan Ibu tentang kematangan sekolahnya belum maksimal terutama masalah duduk diam dan berkonsentrasi mendengarkan. Anaknya cenderung mudah bosan dan cepat beralih perhatiannya. Di rumah dengan teman sebaya juga masih mau menang sendiri, ngomongnya sudah berbentuk kalimat tapi sering kurang jelas dan kalau marah suka menggigit temannya sehingga banyak temannya yang menghindar kalau dia datang bermain. Pertanyaan saya.
Apakah anak saya bisa dikategorikan autisme atau hiperaktif?
Apakah hiperaktif perlu diobati dan diterapi? Benarkah kalau tidak diobati bisa berubah menjadi autisme?
Apakah yang harus saya lakukan, memasukkan anak ke TK atau SLB-C?
Apakah anak saya bisa disembuhkan dan masuk sekolah biasa?
D, Nusa Dua
Wah kok seperti tembakan bombardir pertanyaannya Bu. Tulisan ini sekaligus untuk menjawab beberapa pertanyaan melalui telepon tentang perbedaan anak hiperaktif dengan autis.
‘Histeria Autisme’ akhir-akhir ini memang sering melanda para orangtua yang anaknya menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan autis. Namun sebagai orangtuanya tentu kita mampu memberikan pengamatan yang mendetail. Ada beberapa perbedaan mendasar yang dapat kita amati dari perilaku anak dengan GPPH/Gangguan Pemusatan Perhatian & Hiperaktivitas (ADHD/Attention Defisit & Hiperactivity Disorder) dengan autisme, sebagai berikut.
Aktivitas & Kemampuan Berkonsentrasinya
Anak autisme cenderung kurang mampu berkonsentrasi dan sangat sukar diarahkan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Aktivitas yang dilakukan lebih berdasar karena dorongan kemauan dari dalam dirinya. Aktivitas bermainnya biasanya cenderung monoton dan bersifat pasif, tidak mampu bermain interaktif dan imaginatif dengan teman bermainnya, seperti main dagang-dagangan, perang-perangan, pura-pura jadi guru, dokter dsb. Mereka juga sangat sukar berganti mainan, cenderung memainkan mainan dan permainan yang sama sendirian, diulang-ulang, rutin dan bersifat stereotipik.
Sementara anak hiperaktif konsentrasinya memang terbatas juga dan sangat mudah sekali teralih perhatiannya pada aktivitas lain yang lebih baru, namun lebih mudah untuk diarahkan melakukan suatu tugas sederhana meskipun sering tidak selesai.
Aktivitasnya yang seperti didorong mesin memang menjadi ciri paling khas dari hiperaktif, seperti tidak mengenal rasa lelah, cenderung tidak dipikir dan sering impulsif seperti tidak sabaran segalanya mau serba cepat, tidak mau menunggu giliran dan semua keinginannya harus diikuti. Mereka justru sangat mudah bosan dan selalu ingin berganti-ganti mainan, serta masih mampu bermain interaktif dan imaginative.
Aspek Sosial & Emosinya
Anak dengan gejala autisme, minat bersosialisasinya sangat rendah. Mereka lebih asyik untuk bermain sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sosialnya. Biasanya justru terganggu apabila ada intervensi dari lingkungannya dan cenderung menghindari kontak mata, merasa tidak nyaman apabila disentuh dan dipeluk. Respons emosinya sering tidak terduga, kadang-kadang cuwek tetapi bisa suatu saat respons emosinya terlalu berlebihan dan biasanya kalau sudah marah sangat sukar untuk diredakan, bahkan ada beberapa anak yang tahan menangis berjam-jam.
Sementara minat untuk bersosialisasi yang ditunjukkan anak yang hiperaktif masih normal, tetapi karena impulsivitas dan agresivitasnya mereka sering jadi ‘troublemaker’ sehingga sering dihindari dan dijauhi teman-teman bermainnya. Kontak mata kadang-kadang masih dilakukan, masih mau disentuh, masih menyukai pelukan. Emosinya cenderung meledak-ledak, tetapi masih lebih mudah untuk diredakan dengan bujuk rayuan.
Komunikasi, Pervasi & Perilakunya
Anak autis sering tidak memahami perintah dan tidak mampu melakukan komunikasi secara aktif. Kata-kata yang diucapkannya terdengar aneh dan mereka sering memakai istilah-istilah yang tidak lazim digunakan. Salah satu ciri khas anak autis adalah rendahnya kemampuan menunjukkan kemauan/pervasif. Jadi anak mungkin lapar tapi tidak ada keinginan untuk minta makan, mau kencing juga tidak mampu memberikan isyarat, tidak menunjukkan rasa takut maupun bagaimana mengekspresikan rasa senang atau rasa sayang kepada orang lain mereka sering tidak mampu. Perilaku yang mereka tunjukkan seringkali aneh dan berlebihan, cenderung menunjukkan perilaku stereotipik seperti tertawa sendiri tapi bukan dalam situasi senang, bertepuk tangan, berjalan jinjit-jinjit, melompat-lompat yang dilakukan tanpa tujuan dan rentang waktu yang cukup lama.
Sementara anak hiperaktif kebanyakan juga menderita kelambatan bicara. Ini tidak mengherankan karena kemampuan berbahasa membutuhkan konsentrasi. Namun mereka masih mampu menunjukkan kemauan/pervasi meskipun dengan bahasa nonverbal, misalnya mereka ingin minum, mungkin tangan kita akan ditariknya dan dengan isyarat menunjuk tempat minum sambil berbicara ‘ah ah uh’ sebagai usaha menjelaskan apa yang diinginkannya. Perilaku yang ditunjukkan lebih diwarnai impulsivitas berupa ketidaksabaran, pemaksaan kehendak maupun rendahnya kontrol diri, keterlambatan banyak berkaitan dengan koordinasi motorik halus, berkonsentrasi maupun berbahasa.
Terapi & Hasil Stimulasi
Tentu saja anak hiperaktif pun perlu diterapi seperti halnya anak autis. Memang gangguan tersebut kalau tidak diterapi tidak akan mengubah anak menjadi autis tetapi yang pasti akan menghambat perkembangan kecerdasan dan sosialnya. Terapi perilaku, terapi konsentrasi, terapi wicara, obat-obatan bahkan keluarganya pun perlu mendapat terapi untuk meneruskan terapi di rumah dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak-anak hiperaktif. Memang dibutuhkan kesabaran, energi dan biaya yang tidak sedikit, namun biasanya kalau terapi dilakukan secara intensif maka perkembangannya akan maju secara bertahap.
Dengan pendekatan pada sekolah dan guru, sebaiknya cobalah ‘titip’ saja di TK biasa Bu, sambil tetap melakukan terapi yang di atas. Masalah nanti masuk SD atau SLB tentu sangat tergantung dengan kapasitas kecerdasan yang ditunjukkkan anak. Sebaiknya Ibu segera berkonsultasi ke ahlinya atau setiap hari Kamis ada klinik Tumbuh Kembang di RS Sanglah, silakan berkonsultasi ke sana. Salam manis.
Comments