Skip to main content

Sistem Pendidikan Kita

 Sistem Pendidikan Kita Melawan Hukum Alam -Dr. Ratna Megawangi, MSc
Berikut ini dikutip dari sebuah milis Homeschooling :

Oleh: Dr. Ratna Megawangi, MSc
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus
2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi janji bahwa pemerintah
memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sesuai dengan UUD 1945
hasil amendemen. Diharapkan setelah kesejahteraan guru, materi, dan
infrastruktur terpenuhi, kualitas pendidikan Indonesia akan meningkat
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.

Menurut
Ratna Megawangi, praktisi pendidikan dan pendiri Yayasan Warisan Luhur
Indonesia, besaran persentase itu bukan masalah inti pendidikan
Indonesia. Yang penting dibenahi lebih dulu adalah sistem pendidikan
dan hasrat guru untuk mengajar. "Itu yang menjadi roh pendidikan sumber
daya manusia," ujarnya kepada Akmal Nasery Basral, Yophiandi, dan
Santirta dari Tempo, Selasa pekan lalu. Berikut petikannya.


Bagaimana
Anda melihat janji Presiden dalam pidato kenegaraan yang akan
meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari APBN?

Memang
ada asumsi peningkatan anggaran akan membuat kualitas pendidikan kita
lebih baik, tetapi saya lihat masalahnya bukan di sana, melainkan pada
sistem pendidikan dan kualitas guru. Kalau kita bicara roh pendidikan,
kedua hal inilah yang perlu diperhatikan.
Pendidikan kita selama ini
academic oriented. Contohnya, ujian itu selalu hafalan dari TK sampai
SMA. Setiap sekolah mengajarkan teaching to the test.
Padahal,
kalau menurut taksonomi, hafalan itu merupakan tingkat terendah
kecerdasan manusia. Menurut (Albert) Einstein, binatang pun bisa
diajarkan menghafal. Akibatnya, aspek kreativitas, deep thinking, tidak
berkembang baik. Interpersonal, refleksi, emosi, spiritualitas, tidak
berkembang baik.
Salah satunya terlihat pada entrepreneurship kita
yang masih rendah. Menurut Ciputra, rasio (entrepreneur dibanding
jumlah penduduk) kita cuma 0,18 persen. Padahal sebuah negara untuk
bisa maju membutuhkan sedikitnya dua persen entrepreneur.

Sejauh mana angka-angka itu menjadi penghambat?

Sejak
kecil anak di Indonesia tidak dibiasakan berpikir kreatif, karena ada
sistem peringkat dari satu sampai sepuluh yang membuat mereka takut
berbuat salah. Takut salah itu adalah cerminan takut mengambil risiko.
Sikap ini akhirnya terbawa ke dunia kerja. Ini yang membuat orang
Indonesia berpikir selalu mengikuti juklak. Padahal orang kreatif itu
yang berpikir keluar dari juklak. Jadi, walaupun sudah (ada kenaikan
anggaran menjadi) 20 persen,
tetap tak akan ke mana-mana pendidikan kita.

Apa yang sebaiknya menjadi prioritas pembenahan?

Pertama,
pelajaran tidak boleh terlalu banyak, terutama di usia dini, 14 tahun
ke bawah. Di usia 10 tahun ke bawah di mana otak berkembang sampai 95
persen, kita ha rus betul-betul membuat sistem pendidikan yang fun. KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) itu sebenarnya bagus, tapi penekannya balik lagi ke
teaching to the test bagi anak-anak SD.
Lalu dari guru yang kurang
adalah spirit of teaching. Banyak guru yang tidak tahu bagaimana
menjadi guru yang benar walau sudah sarjana. Guru yang berhasil adalah
guru yang membuat anak terus ber tanya, dirindukan anak-anak. Sekolah
yang berhasil adalah sekolah yang kalau libur, atau murid-muridnya
dipulangkan cepat, para murid justru enggan karena mereka
maunya
tetap di sekolah. Sekolah itu kan berasal dari kata Yunani scholeia,
yang artinya tempat bersenang-senang. Sekarang, sekolah kita jadi
tempat anak-anak bersenang-senang atau menakutkan?

Ada kecenderungan jam sekolah anak-anak semakin panjang saja bahkan sampai sore hari? Apakah itu tidak membuat anak jenuh?

Tidak
apa-apa sekolah sampai malam sekalipun asal fun. Kalau tidak fun,
sampai jam 10 pagi pun sudah capek sekali. Jadi, yang penting adalah
membuat suasana bagaimana mereka tidak merasa belajar, tapi bermain,
padahal sebenarnya mereka belajar. Singapura sudah meninggalkan sistem
pendidikan berorientasi akademik, tapi lebih pada sisi holistik,
menyangkut emosi dan sosialnya. Jepang dan Korea Selatan juga begitu.
Hukum alam itu menunjukkan mereka yang berIQ di atas 120 hanya 10
persen dari populasi. Yang ber-IQ di
atas 115 sekitar 15 persen.
Sisanya yang mayoritas sekitar 85 persen, memiliki IQ di bawah itu.
Karena itu, kalau fokusnya pada academic oriented, 85 persen siswa
pasti tak bisa mengikuti.

Contoh riilnya bagaimana?

Olimpiade
fisika, olimpiade matematika, dan sebagainya itu. Saya tanya ke
Profesor Yohanes Surya (pembimbing tim Olimpiade Fisika Indonesia),
bagaimana caranya menciptakan para juara seperti itu? Dia bilang yang
dibina itu adalah yang IQ-nya 160 ke atas. Jumlah murid seperti ini
cuma 0,0001 persen dari populasi atau sekitar 3.000 anak Indonesia.
Kalau seperti ini, nggak dibina pun mereka belajar sendiri sudah jago.
Yang
harus kita pikirkan adalah yang mayoritas. Di Swedia, saya pernah
berkunjung ke satu SMA yang punya 16 jurusan. Ada yang untuk menjadi
babysitter, koki, perancang mode, dan sebagainya, selain jurusan sains
dan matematika.
Saya hitung komposisi murid berdasarkan jurusan yang
mereka ambil, ternyata yang mengambil sains dan matematika itu
jumlahnya hanya sekitar 15 persen. Klop dengan hukum alam tadi. Sistem
pendidikan kita malah terbalik karena melawan hukum alam (tertawa).
Kalau melawan hukum alam, akibatnya semua rusak, mental, karakter, kepercayaan diri.
Jadi,
kenapa kita sebagai bangsa gampang marah, karena sejak kecil kita
dipaksakan untuk menerima sesuatu yang bukan seharusnya kita terima.
Anak-anak gampang stres.

Ciri-ciri anak stres itu bagaimana?

Anak
itu akan nggak suka sekolah. Entah karena pelajaran maupun karena
faktor guru. Input dan respons otak anak itu tak bisa dibohongi. Dia
nggak nyaman.
Ada pendapat bahwa para pendidik di tingkat dasar
justru seharusnya para doktor dan profesor yang mengerti padagogi. Anda
setuju? Saya nggak yakin kalau profesor otomatis bisa mengajar di TK
atau SD. Ketika saya ingin membuat TK nonformal di desa, saya kesulitan
mencari guru yang memadai.
Akhirnya direkrutlah lulusan SMP yang
membantu mengajar di TK. Kami beri pelatihan praktis. Ternyata mereka
bisa membuat sekolah menjadi tempat menyenangkan bagi murid. Jadi, yang
penting ada lah guru itu punya ilmu the spirit of teaching. Mau
berkorban. Sekolah kami mengembangkan konsep community based, yang
bayar guru adalah orang tua murid. Ada (orang tua) yang bayar Rp
8.000-10.000 per bulan. Karena itu bayaran guru paling
banter Rp 100 ribu. Herannya, kok mereka masih bertahan? Masih mau mengajar?
Saya pikir itu bisa terjadi karena mereka memang sudah jatuh cinta pada
dunia pengajaran.

Dari konteks ini, bagaimana melihat program pemerintah mengenai wajib belajar sembilan tahun yang dimulai dari umur 7 tahun?

Sekarang
pemerintah sudah sadar dan membentuk banyak PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) di mana-mana, karena ada istilah six is too late. Ini juga
menjawab kenapa sumber daya kita rendah karena fondasi selama ini juga
tak kuat.
Kalau fondasi tidak kuat, biar sudah tingkat lanjutan
tetap saja tak bisa bagus. Ini yang kami antisipasi, misalnya di Muara
Karang, tempatnya anak-anak kelas bawah. Atau di Tapos yang banyak
anak-anak tukang ojek. Sekarang ini sudah ada sekitar 700 sekolah kami
yang seperti ini, dengan murid rata-rata 30 orang per kelas. Mereka
kritis sekali, bisa bertanya
ini-itu karena, meskipun masih kecil,
sudah punya prinsip. Yang kita tanamkan bukan sekadar knowing the good,
tapi juga reasoning the good, feeling the good, dan akhirnya acting the
good sehingga mereka menjadi agent of change di kampungnya. Mereka
berani menegur orang dewasa yang buang sampah sembarangan. Yang ditegur
pun nggak marah karena yang mengingatkan adalah anak kecil. Malah jadi
lucu dan malu sendiri orang itu (tertawa).

Bagaimana melihat penetrasi pihak internasional dalam pasar preschool di
Indonesia yang belakangan ini makin menjamur?

Sekolah
asing itu bagus-bagus. Saat ini kita hidup dalam era globalisasi,
kenapa kita mempersoalkan asing atau lokal? Bagus itu kan universal.
Bagi yang punya duit, bisa akses,
silakan saja. Tapi ini kan paling
satu persen dari masyarakat. Berapa banyak sih yang bisa membayar uang
sekolah TK sebesar Rp 20 juta sebulan? Makanya kami membangun sekolah
berbasis karakter yang lebih bisa diakses masyarakat banyak. Menurut
saya, pendidikan yang berbasis agama bisa juga menjadi berbahaya jika
aspek kognitif terlalu ditekankan, misalnya doa-doa hafalan seperti di
TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), kalau anak nggak bisa lalu disabet
sehingga membuat mereka ketakutan. Seorang kepala TPA di
Kalimantan
Selatan yang ikut pelatihan sekolah karakter langsung nangis mengingat
metode pendidikannya selama ini. Akhirnya kami mulai masuk juga ke TPA
dengan meningkatkan sistem mereka menjadi TK nonformal. Belajar
Al-Quran kan juga bisa dengan suasana yang menyenangkan, misalnya
dengan menyanyi lebih dulu.

Inspirasi membuat pendidikan berbasis karakter ini dari mana?

Saya
terinspirasi oleh Lee Kuan Yew. Singapura sewaktu berpisah dengan
Malaysia itu kan kondisinya critical. Mereka nggak punya apa-apa,
sumber daya alam minim, masyarakatnya pun rentan konflik karena
berbagai ras ada di sana, India, Cina, Melayu. Lee adalah seorang
filosofi, maka dia melakukan pemberdayaan sumber daya manusia dengan
membuka 350 TK. Ini social engineering. Yang diajarkan itu karakter,
bagaimana kebersihan, disiplin.
Tak sampai satu generasi di tahun
1970-an Singapura sudah menjadi negara yang tertib, menjadi tempat yang
menyenangkan, menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Ini
direncanakan semuanya. Indonesia mungkin too late ya, tapi tetap harus
dimulai. Masyarakat mulai berbenah. Ada almarhum Cak Nur (Nurcholish
Madjid), Haidar Bagir dengan sekolah Lazuardinya. Biarkan masyarakat
membantu pemerintah.

Kalau guru bisa diajarkan, orang tua
murid di rumah bagaimana? Anak-anak itu kan menghadapi orang tua mereka
di rumah yang belum tentu sama pandangannya mengenai pendidikan?

Tak
jadi masalah. Para orang tua malah terheran-heran kok anak saya sudah
bisa baca? Kok malah sudah nasihatin saya? Para orang tua itu kita beri
tahukan apa yang dipelajari anak-anak mereka di sekolah, misalnya soal
kejujuran. Tinggal dibuat pemberitahuan kepada orang tua agar
memberikan ajaran tentang kejujuran. Semua poin yang perlu diajarkan di
rumah dituliskan. Hasilnya malah membuat orang tua dan anak tambah
akrab karena
batinnya diikat.

Bagaimana kalau ada yang mengaitkan kesuksesan sekolah ini dengan posisi Pak
Sofyan Djalil di kabinet?

Kami
mulai sekolah ini di tahun 2000, sementara Sofyan masuk kabinet 2004.
Pada saat awal beroperasi, Sofyan menjadi devil's advocate. Apa saja
dia kritik. Akhirnya, saya jalan cari sponsor sendiri, seperti ke Exxon
Mobil. Sampai sekarang kalau ada BUMN yang mau menjadi sponsor, saya
mewantiwanti agar lihat dulu sekolahnya, dipahami dulu konsepnya, bukan
karena suami saya Menteri Negara BUMN. Sebab, kalau bersifat topdown
pasti tak akan long lasting.
Dari 55 sponsor sekolah karakter,
memang ada tiga-empat BUMN. Mungkin karena itu ada yang "menembak",
bahwa karena kedudukan suami, yayasan ini mendapat miliaran rupiah.
Bahkan saya dibilang makmur. Silakan diaudit, sepeser pun saya tidak
digaji. Ini juga sudah diaudit, tanya kepada 55 orang yang kerja di
sini. Tapi saya nggak ambil pusing. Justru kami yang membantu mereka
(perusahaan) , karena membuat hasil corporate social responsibility
mereka terlihat.

Apa target yang belum tercapai?

Target saya harus ada 10 ribu sekolah karakter yang bisa kami bentuk untuk membantu pendidikan di Indonesia. ?

disampaikan kembali oleh
Chairul Hudaya
http://www.nuklir.info

Comments

Popular posts from this blog

QURANIC LAW OF ATTRACTION...

QURANIC LAW OF ATTRACTION... Hukum Ketertarikan Dalam The Secret dijelaskan bahwa hukum tarik menarik adalah hukum alam. Kesamaan menarik kesamaan. Setiap orang akan menarik apa yang dirasakan dan difikirkan kepada dirinya sendiri. Perasaan dan fikiran yang buruk (negatif) akan menarik kejadian buruk kepada seseorang, demikian pula perasaan dan fikiran yang baik (positip) juga akan menarik kejadian yang baik pada orang tersebut. Inilah yang secara umum menyebabkan orang kaya bertambah kaya dan orang miskin bertambah miskin serta melarat.Kenyataan juga membuktikan bahwa anak atau orang yang lahir dan dibesarkan dilingkungan orang kaya jika fikirannya dihantui perasaan takut miskin, takut bangkrut, takut melarat pada akhirnya semua harta yang diwarisi juga akan musnah sesuai apa yang difikirkannya. Sebaliknya fakta juga membuktikan bahwa banyak anak atau orang yang dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan yang miskin dan melarat, namun hati dan fikirannya dipenuhi semangat untuk menjadi or

@MELAYANI

" Berbeda dan Melayani" Jika kita niatkan sejak awal dan ikhlas melayani, maka hasilnya luar biasa... "dunia dan akhirat" Seperti kisah dibawah ini... 🌸Yadi Sudjatmiko 🌱By jamillazzaini Rabu malam (29/2/2012) kemarin, saya terbang dengan pesawat garuda GA 324 Jakarta-Surabaya. Duduk di sebelah saya seorang bernama Yadi Sudjatmiko. Lelaki paruh baya ini menuju Malang setelah menempuh perjalanan panjang dari Oman. Ia bekerja di salah satu perusahaan minyak disana. Satu bulan sekali ia pulang ke Indonesia, berlibur satu bulan kemudian bekerja lagi satu bulan. Banyak pelajaran yang saya peroleh dari lelaki yg telah memiliki 3 orang anak ini. Pak Yadi hanya lulusan STM, tetapi kini ia bergaji besar mengalahkan sarjana teknik yg saya kenal. Apakah itu diperolehnya dg mudah? Tidak. Setelah lulus STM ia mencari pekerjaan ke Jakarta dan Surabaya, namun yg ia dapatkan hanya jawaban, "Kalau cari kerja ke Kalimantan sana, jangan di kota besar."

Pancasila dan Demokrasi Asli Indonesia

Pernah kita bertanya kenapa negara ikon demokrasi seperti Amerika, Inggris dan Australia menerapkan pemilu secara tidak langsung (sistem perwakilan)? Mari sama-sama belajar agar rakyat Indonesia cerdas dengan tidak menghabiskan energi saling membully. Bukankah saling respek meski berbeda pendapat itu justru esensi demokrasi? Rakyat Australia memilih pemimpin tidak secara langsung, tapi melalui anggota dewan (senator) yang mereka pilih. Para anggota dewan inilah yang kemudian dipercayakan memilih Prime Minister (PM) dan para pemimpin wilayah (Premiers). Tentu ada diantara anggota dewan yang tidak amanah, tapi penegakan hukum dilakukan atau mereka tidak dipilih kembali. Mekanisme ini berjalan terus sehingga kualitas anggota dewan terseleksi semakin baik. Sistem pemilihan presiden di Amerika yang telah berlangsung dua abad bukan dengan pemilihan langsung (one man one vote / popular vote), tapi berdasar pada electoral vote (represented via electoral college institution). 270 dari 53